Kamis, 27 Oktober 2016

Senin, 24 Oktober 2016

KUNANG-KUNANG KECIL



FESTIVAL SENI BUDAYA

Aku tumbuh menjadi anak bijak sejak mulai menapaki tahun hidupku yang kesepuluh. Di keluargaku
yang hidup normal, sejahtera sentosa. Semuanya kami pikir kebaikan yang kami dapatkan dalam
hidup, berasal dari para dewa suci, roh leluhur, dan matahari—bagi orang beragama Shinto. Tapi,
tidak sepenuhnya untukku. Aku merasakan kejanggalan, keraguan, ketidakniscayaan. Semua
bercampur. Memaksa otakku membicarakan kepada hatiku, menyuruhku berpikir. Ada sesuatu besar
yang belum kupahami dengan baik.
          Keraguanku akan semua keyakinan keluarga, tidak ku tanyakan. Aku kira, nenek akan
memarahiku jika dia tahu aku tak percaya kepada dewa-dewa.
          Lantas, aku pergi ke padang rumput ilalang, agar aku bisa melihat senja dengan tenang.
Merenung. Kebiasaan yang datang di kala umurku sembilan tahun.

***

“Shibaki-kun, kau pulang malam lagi?” nenek menyambutku marah. Membuat gaya berkacak
pinggang. Dari pintu masuk, aku dapat melihat Okaa-san yang tengah menghidang makanan. Okaa
san sesekali menoleh, melihat aku di marahi nenek, sembari meletakkan mangkuk besar nasi.
          “Tadi ada sekelompok anak laki-laki yang bertengkar. Jadi, aku menontonnya,” aku menatap
nenek, memberi alasan—lebih tepatnya membual.
          “Buat apa kau menonton pertengkaran orang lain? Kau tahu kan, itu tak berguna,” nenek
menyanggah.
          Aku terdiam. Benar juga. Dasar payah, aku ini memang tak pandai berbohong.
          “Sudahlah. Cepat masuk, mandi dan segera datang ke ruang makan,” nenek meninggalkanku.
Aku beranjak ke kamar, mengganti baju. Buat apa mandi malam-malam? Itu kan, tidak baik untuk
kesehatan. Aku geleng-geleng kepala sambil mengenakan piyama. Nenek ada-ada saja.
          Aku cepat ke ruang makan.Belum ada siapa-siapa di kursi makan. Aku tersenyum, aku yang
paling dulu duduk rapi di kursi makan. Nenek pasti senang aku sudah disiplin.
          Kami, keluarga Sawada, berjumlah enam orang dalam rumah lebar ini. Adalah aku, okaa-san,
otoo-san, nenek, kakak dan adikku, serta adik dari ibuku. Kupanggil dengan sebutan bibi. Jadi dapat
disimpulkan, dalam keluarga ini ada empat orang perempuan, dan tiga orang laki-laki. Sebenarnya,
jumlah saudaraku sembilan. Namun, ada sebuah bencana alam yang menyebabkan kematian kakek
juga suami bibi. Tsunami. Empat tahun yang lalu, kakek mengajak paman ke laut untuk memancing.
Tapi naasnya, mereka bertemu ajal disana. Waktu itu, ayah tak bisa ikut. Ayah punya banyak
pekerjaan di pabrik tekstilnya. Jasadnya entah dimana—Tim Penyelamat Negara tak dapat
menemukan mereka. Nenek mengamuk, benar-benar terpukul. Apalagi bibi. Dia bahkan belum
 memberikan keturunan dari suaminya. Ibu dan ayah begitu juga. Kehilangan ayah, mertua, kakak
ipar, saudara. Butuh waktu untuk melupakan semua kejadian tragis itu.
Empat tahun lalu, aku masih tak bisa mengerti apa yang terjadi. Aku masih bocah ingusan, tak
tahu arti kematian. Tapi sekarang, aku bisa mengerti segalanya. Bahkan, tentang perkara keyakinan
pun menjadi soal di kepalaku.
          Tak lama kemudian, anggota keluarga satu-persatu hadir. Nenek datang terakhir.
          “Ah, nenek. Padahal nenek menyuruhku supaya disiplin, tapi nenek malah datang paling akhir.
Nenek hanya tahu menasihati orang!” aku meledek.
          “Shibaki! Apa-apaan ucapanmu itu!” Okaa-san marah.
          Nenek tersenyum. “Kau masih kecil, Nak. Kau perlu disiplin setiap saat. Dan nenek sudah tua.
Tidak butuh perjuangan lagi. Nenek sudah mendekati akhir hidup.”
          “Ibu juga, tidak baik mengatakan itu bu,” Okaa-san menoleh, marah juga kepada nenek. Nenek
sekedar tertawa.  Sekarang, semua anggota keluarga lengkap sudah di meja makan.
          “Selamat makan,” ucapku, langsung melahap makanan. Adikku, kakakku, ibu, ayah,
nenek serta bibi mengikuti teladanku. Kami tidak mengepalkan tangan, berdo’a seperti orang-orang
kristen. Kami hanya berdo’a dalam hati,agar makanan berkah, lantas berucap Selamat Makan.
Begitulah adat orang-orang negeri matahari.
          “Usai ini, giliran Atsuko yang cuci piring, ya.”
***
Larut malam, aku bersama adik-kakakku belum tidur. Kami asyik membaca komik. Tak masalah
besok kami bangun lambat dengan mata berkantung, toh, besok kan hari libur. Saat otoo-san
mengucapkan selamat tidur pada kami, lalu mematikan lampu—kami pura-pura tidur dengan menutup
diri dengan selimut tebal. Agak lama, kakakku perlahan menyalakan lampunya lagi. Mengambilkan
 komik kesukaan yang baru dibeli tadi siang.
            “Hei Shibaki, kau punya rencana apa besok?” kakakku berbisik. Dia baru membaca separuh isi komiknya.
            “Entahlah kak, aku belum memikirkan itu,” aku tak menoleh sekalipun dari komik. Lagi adegan seru-serunya, kakak malah bertanya.
            “Tanpa kau pikirkan, kau sudah punya kegiatan yang akan kau lakukan besok,” adikku, Atsuke, tiba-tiba menyela. Perkataannya aneh. Membingungkan. Makanya kak Taro menanyakan maksudnya.
            “Ya ampun... Kenapa kalian lupa hal sepenting itu?” adikku menepuk dahi.
            Kakak mengernyit. Tapi aku samasekali tak tertarik.
            “Ah, payah. Besok kan, ada Festiva Seni Budaya di kota!”
            Kak Taro bukannya merespon dengan mengatakan “Oh iya! Kenapa aku bisa melupakannya?”. Tapi dia malah segera menutup mulut Atsuke yang berteriak tanpa sadar. Memarahi Atsuke.
            Sumimasen ne...” Atsuke meminta maaf, garuk-garuk kepala.
            Aku akhirnya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua saudaraku yang menggelikan. Adegan seru di komik sudah selesai. Dan seluruh isi komik tebal sudah selesai kubaca dalam waktu dua puluh menit. Jangan pikir jika aku selesai membaca dengan waktu yang cepat, aku tidak tahu isi cerita ini. Aku tahu sekali, bahkan sampai detail-detailnya.
            “Hei-hei, Shibaki! Kau mau tidur?” kakak berseru pelan ketika melihatku membenamkan diri di selimut tebal. Komikku sudah habis kubaca, apalagi yang akan kubuat? Begadang? Lagipula, aku sudah mengantuk.
            Nii-san, ayolah. Jangan tidur dulu.” Atsuke membujuk. Dia takut tidur paling akhir.
            “Shibaki, bangunlah,” kakak memohon.
            Aku diam, tak menjawab. Aku sudah terlelap.
            Kak Taro menghela napas, mengumpat. Begitu juga Atsuke, dia menyerah. Mereka mengikut teladanku. Berbaring, menaikkan selimut.
            Selamat tidur.
***
 Malam besoknya, Festival Seni Budaya.
            Usai makan malam, Atsuke langsung mengingatkan kami akan festival malam ini, dan menyuruh kami bergegas bersiap-siap. Aku memakai jinbei—baju adat Jepang untuk anak laki-laki. Begitu juga Atsuke dan Kak Taro. Nenek, okaa-san dan otoo-san tidak ikut. Mereka punya urusan tersendiri. Tapi tidak bagi Bibi. Dia mau ikut, karena tak ada yang dapat di kerjakannya di rumah. Bibi memakai yukata, baju tradisional untuk perempuan Jepang.
            Sesampainya disana, aku sudah dapat merasakan keramaian di festival. Aneka makanan di pasarkan disana. Wahana dan hiburan juga ada. Dan—bagian terpentingnya dalam festival ini—tentu saja pentas seni budaya Jepang dan teater drama.
            “Bibi mau lihat teater dulu. Kalian terserah mau kemana. Belilah apapun yang kalian suka,” bibi menyerahkan uang tiga lembar kepada kami. Tapi kami menolak.
            “Otoo-san sudah memberi kami uang Bi. Terimakasih, bi,” Atsuke yang menjawab.
            “Baiklah, Atsu-chan,” bibi tersenyum, menyimpan kembali uangnya, “Hati-hati! Sampai jumpa di jam sepuluh!” Bibi melambaikan tangan, lalu pergi meninggalkan kami.
            Aku dan dua saudaraku segera pergi ke kedai bernama Oiishi Takoyaki yang mana takoyakinya terkenal sangat enak! Tapi resikonya kami harus mengantri. Akhirnya, tak lama kemudian, antrian sudah habis. Kak Taro memesan tiga kotak takoyaki. Menyerahkan beberapa lembar uang ketika si penjual memberikan pesanannya. Mengucapkan terimakasih. Kami makan di dekat kedai. Aku melirik arloji perakku. Masih pukul delapan lewat dua puluh lima. Masih ada satu jam lebih untuk bersenang-senang. Aku mengembus-embus takoyaki yang masih panas, lalu memasukkannya ke mulut.
            “Ah, Shibaki! Kau ada disini?” tiba-tiba suara seseorang menegurku. Aku menoleh. Seorang anak laki-laki bertubuh tinggi—namun sebenarnya sebaya denganku. Dia memakai baju yang sama seperti kami.  Di tangannya terlihat kantong plastik dango. Anak laki-laki itu adalah teman sekelasku. Anak paling tinggi di kelas, juga terpintar di kelas.
            “Kaguto!” aku berseru, kaget. “Kupikir kau tidak akan pernah datang ke festival, sibuk belajar di rumah.” Aku mencandainya, membuat temanku—Kaguto itu tertawa. Di sampingnya ada seorang anak perempuan yang lebih tinggi dari Kaguto. Ikut terseyum. Sepertinya itu kakaknya.
            “Kaupikir aku hanya terus-terusan menetap di kamar untuk meledakkan kepalaku dengan semua pelajaran yang menyesakkan?” Kaguto pura-pura marah. “Aku juga butuh refreshing, kau tahu!”
            Aku tertawa. Kaguto hanya bercanda.
            “Baiklah, aku pergi dulu ya. Di sana, ada sup okonomiyaki yang sedap! Dah, Shi-chan!” Kaguto berlalu bersama kakaknya, setelah mengejekku dengan nama “Shi-chan”. Aku mendengus. Enak saja mengatakan aku “Shi-chan”! Aku bukan anak kecil lagi.
Tiba-tiba suara ledakan kembang api terdengar. Kami lantas mendongak, melihat kembang api yang menyambar indah. Wow, benar-benar ramai. Aku tak tahu apakah besok anak-anak banyak hadir di kelas atau mereka malah bangun terlambat karena tidur larut malam gara-gara menghadiri festival. Memang, tadi pagi, sewaktu di sekolah, Bu Haranuki mengingatkan kami Entahlah. Kalau aku melakukan hal itu, nenek dan otoo-san pasti marah sekali. Mereka kan, orang yang paling disiplin.
            “Aku mau pergi melihat seni budaya,” Kak Taro bangkit, membuang kotak takoyaki-nya yang sudah kosong ke tong sampah. Kemudian, kotakku menyusul. Atsuke buru-buru menghabiskan takoyakinya. Kami mengikuti kak Taro. Kami tak mau pisah sama sekali.
            Samar-samar mengalun suara musik khas Jepang dari beberapa jarak meski di tengah keramaian yang berisik. Kami lalu melihat sebuah kerumunan yang mengerbungi sebuah teater. Dari sanalah musik itu berasal. Itulah dia pentas seni budayanya. Aku dan dua saudaraku masuk menerobos kerumunan.
            Aku melirik alroji kembali. Menonton pentas seni budaya membuat kami sudah menghabiskan waktu satu setengah jam. Orang-orang mulai menyepi. Beberapa pria dewasa terlihat tengahh membongkar pentas tempat seni budaya tadi. Aku, kak Tora dan Atsuke datang ke tempat perjanjian akan bertemu dengan bibi. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh tepat. Bibi tak ada juga. Pedagang-pedagang mulai mengemasi dan membereskan kedai mereka. Hendak menutup toko. Ya ampun, kemana bibi? Mengapa tak datang-datang juga?
            Kami bertiga menjadi lega setelah mendengar suara teriakan seorang wanita yang kami kenali. Dari ujung sana, dia lari tergopoh-gopoh, meminta di tunggui. Itu dia bibi!
            “Bibi kemana saja sih! Bibi tahu, kami sangat khawatir!” Atsuke mengomel.
            “Maafkan bibi Atsu-chan, anak-anak. Tadi ada teman lama bibi yang mengajak mengobrol. Karena dia teman lama, jadi bibi tak bisa menolaknya,” bibi terlihat menyesal.
            “Yasudah. Ayo, kita segera pulang!” aku memutuskan bijak. Malam itu, nenek marah-marah kevpada kami, karena pulang sangat malam. Nenek bilang, jika aku dan dua saudaraku besok terlambat bangun, maka nenek akan menghukum tidak memberi kami keluar main. Dalam hati aku kesal. Padahal ini semua kan, salah bibi.

***
































PARA PENDAKWAH

Samar-samar terlihat dua wajah orang yang kukenali. Tapi ada yang aneh dengan mataku. Seperti basah kena air. Samar-samar berubah menjadi jelas. Ternyata itu adalah nenek dan kak Tora yang sudah memakai seragam. Aku mengusap air di wajahku. Nenek memegang sebuah gayung berisi air. Wajahnya terlihat geram.  “Nah, sudah bangun kau, Shibaki! Sana, lekas mandi!” nenek memarahiku.
            Aku bergumam kecil. Menanyakan jam berapa sekarang.
            “Kau mau tahu jam berapa? Ini jam setengah delapan! Kau sudah terlambat!” nenek melotot.
            Aku terperangah. Apa? Ya ampun, aku sudah terlambat.
            Tanpa ba-bi-bu, aku segera meloncat ke kamar mandi. Basuh tubuh asal-asalan. Aku mendengar kak Taro yang berpamitan berangkat. Disusul oleh papa yang hendak bekerja. Di dapur hanya ada Okaa-san membereskan piring-piring. Seraya geleng-geleng melihatku. Okaa-san tidak terlalu keras seperti nenek ataupun ayah mengenai kedisplinan. Tapi dia tetap mendukungku untuk disiplin. “Aku pergi!” aku cepat berlari tanpa sarapan terlebih dahulu. Nenek terdengar ngomel-ngomel, menyuruhku membawa bekal dahulu. Setelah itu, aku tak mendengar apapun lagi selain deru angin yang kulalui. Aku mempercepat langkah kakiku. Menyusuri jalan gang. Gedung sekolah mulai terlihat. Suara ribut anak-anak di sekolah terdengar berisik. Untung saja, bel tanda masuk belum berbunyi.
            Aku menaiki tangga menuju kelas (yang berada di lantai dua), bel baru berbunyi. Anak-anak segera duduk rapi di bangku. Masih bercakap-cakap dengan teman sebangku selagi guru belum datang.
            Aku mengusap mataku. Aduh, bahkan mataku belum terbesihkan beleknya.
            “Wah, wah, Shibaki. Kau terlambat?” seseorang menyapaku, di sebelahnya ada seorang anak laki-laki. Tinggi mereka sama, hanya penampilan yang berbeda. Raku dan Ryou, temanku yang duduk di bangku paling belakang—sebenarnya, mereka bukan sekedar teman. Mereka adalah sepupuku. Raku adalah anak dari kakak perempuan ibu, dan Ryou adalah anak dari adik laki-laki ibu. Kami adalah sesama sepupu.
            “Yah, kalian lihat sendiri kan? Pakaianku, tasku, rambutku. Tak beres semuanya. Lihatlah! Aku juga lupa memasang tali sepatuku! Untung saja aku tidak terjatuh tadi,” aku menjelaskan jujur.
            “Kenapa kau bisa terlambat?”
            “Tadi malam, aku melihat festival terlalu larut.”
            Kedua sepupuku geleng-geleng kepala.
            “Bukankah bu Haranuki sudah mengingatkan kita supaya tidak pergi ke festival?” Ryou mengingatkan.
            Aku terdiam. Menyesal.
            Pembicaraan kami terputus ketika seorang wanita berumur 30 tahun memasuki kelas dengan serekah senyum. Ryou dan Raku bergegas duduk di bangku mereka. Wanita itu ialah wali kelas ini. Parasnya cantik, seperti model Jepang. Bu Haranuki namanya, seperti yang Ryou bilang tadi. Tapi, kali ini dia tidak sendirian. Ada seorang anak perempuan sebaya kami, dia mengikut di belakang Bu Haranuki. Dan anehnya, perempuan itu berpenampilan yang amat aneh kukira. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas—karena aku duduk di belakang. Tapi aku tahu dia sangat percaya diri berdiri di depan bersama bu Haranuki. Dia memakai kerudung hitam, hingga hanya wajahnya yang terlihat. Tidak sehelai pun rambut terlihat. Siapa dia? Semua anak-anak bertanya-tanya. Desusan anak-anak terdengar di langit-langit kelas.
            “Selamat pagi anak-anak.” Bu Haranuki menyapa terlebih dahulu—seperti biasa—sebelum memulai pelajaran.
            “Anak-anak, sebelum kita memulai pelajaran, ibu ingin memperkenalkan seseorang terlebih dahulu. Kalian lihat, anak manis di sebelah Ibu ini? Dia akan menjadi teman kalian. Dia jauh-jauh datang dari Arab.” Bu Haranuki menoleh kepada anak baru itu. “Ayo, perkenalkan dirimu, Sayang.”
            Anak baru menatap Bu Haranuki yang menaikkan alis—meyakinkan dirinya. Lalu, usai melangkah dua kali, dia mulai berbicara tentang namanya, asalnya, dan alasan dia pindah ke Jepang. Saat dia berbicara, tak ada sedikitpun anak yang berkomentar. Semuanya diam mendengarkan. Aku pun begitu. Dari perkataannya, aku tahu, dia anak yang pintar berbicara. Bu Haranuki menyuruhnya duduk di depan. Sudah ada bangku yang di sediakan untuknya.
           
***
Selama di sekolah, tak ada satupun anak yang menegur, menyapa, ataupun mengajak Fadwa—si anak baru berkenalan. Terlebih-lebih anak laki-laki. Semuanya tenggelam dalam rasa heran dengan penampilan, sikapnya. Sewaktu istirahat, bukannya pergi keluar halaman, dia malah tetap duduk di tempat sambil membaca dengan khusyuk sebuah buku kecil. Jarang sekali ada anak yang melakukan tingkah seperti itu, bahkan tak pernah ada. Aku sesekali mengamatinya ketika mengerjakan PR Sains yang belum selesai. Bangkunya tidak di deretan yang sama denganku, dia di deretan pertama.

***
“Aku pulang, ibu.” Aku memasuki teras rumah, melepas sepatu dan kaus kaki. Tidak ada yang menjawab. Biasanya, ibu ada di dapur bersama nenek, memasak sesuatu. Sedangkan bibi dan ayah bekerja. Aku mengecek kamar ibu, dan kamar nenek yang kulewati. Tak ada siapa-siapa. Mungkin sedang keluar, pikirku.
            Hening lengang di rumah. Menyisakan detak jam yang menunjukkan pukul satu siang.
             Atsuke harusnya sudah pulang, tapi dia sudah bilang kemarin, bahwa dia akan bermain sebentar ke rumah temannya. Ada urusan menyangkut game PSP. Atsuke memang suka sekali bermain PSP.
            Bosan tak ada yang dapat kulakukan, aku memutuskan pergi ke padang ilalang. Jaraknya cukup jauh dari rumah. Kakiku menyibak rerumputan panjang, sampai akhirnya bertemu dengan padang rumput yang pendek. Aku menyipitkan mata, menatap sinar terik matahari teramat silau. Dan mataku semakin menyipit heran saat tahu kalau ada orang lain selainku disini.
            Ini aneh. Dari dulu, tiada satupun orang yang kutemui disini. Hanya diriku yang tahu tempat ini. Harusnya ini menjadi tempat merenung rahasia abadiku, tapi karena orang ini... hei, tunggu dulu. Aku seperti pernah melihatnya. Meski hanya terlihat dari belakang, tapi mataku tak asing lagi dengannya. Dia seumuran denganku, memakai kerudung hitam........, Fadwa.
            Dia memang Fadwa. Aku tertegun.
            Suaranya melantunkan sesuatu yang amat merdu dan sejuk di antara deruan angin.
            Aku mendengarkan, berdiri tak bergerak.
            Tiba-tiba dia berhenti. Tanpa kusadari, dia menoleh ke belakang. Terlihatlah wajah putih bersihnya, dengan mata cokelat berbulu lentik, dan hidung yang mancung. Ekspresinya menunjukkan bingung melihatku. “Siapa kau?” dia akhirnya bertanya, tapi tidak dengan bahasa jepang, melainkan bahasa inggris.
            Aku mendengus kecil. “Kau murid baru tadi, kan? Aku Shibaki, teman sekelasmu. Kau tentulah belum mengenalku, karena kau sama sekali tak berbicara sepatah pun di kelas. Sombong sekali,” aku membalas menggunakan bahasa Inggris—aku cukup tahu bahasanya.
            Fadwa tidak menatapku lagi. Dia kembali melantunkan bacaannya tadi. Aku mendelik ke buku kecil yang di bacanya. Buku ini seperti sangatlah istimewa baginya. Sampai dia tak mengacuhkanku demi membacanya.
            Di covernya ada tulisan Arab. Aku sama sekali belum pernah melihat buku semacam ini.
            Penasaran, aku melangkah dua kali, membuat jarak 50 sentimeter dari Fadwa.
            “Itu buku apa?” aku bertanya, mengerutkan alis melihat huruf-huruf asing tertera.
            “Pedomanku,” Fadwa menjawab pendek. “Aku sedang menghafalnya. Tolong jangan mengganggu.”
            Aku memedam wajah marah. Siapa juga yang mau mengganggu? Aku hanya bertanya tentang buku yang dibacanya. Apakah itu sikap kurang ajar? Justru dia yang menggangguku. Harusnya aku tenang merenung disini. Gara-gara dia datang ke tempat ini, tempatku biasa menyendiri, niatku jadi batal.
            Aku lantas beranjak pulang, melangkah kesal meninggalkan anak menyebalkan itu.

***
Aku mendapatkan empat anggota keluargaku yang sudah hadir di rumah.
            “Kau darimana saja, kak?” Atsuke menatapku, mengalihkan pandangan dari komik yang di bacanya. “Ibu mencari kakak tadi.”
            “Hanya ke padang ilalang,” aku menjawab singkat, bernuansa lesu. Atsuke mengerutkan alis, tanda tanya. Mungkin dia berpikir, Kenapa kak Shibaki terlihat murung begitu?
            “Eh, Shibaki. Baru pulang? Darimana saja?” Tiba-tiba ibu nongol dari dapur, kaget melihatku yang berjalan menunduk ke kamar. Ibu tengah memegang panci dengan kepul uap—tangannya di lapisi serbet.
            “Dari padang ilalang Ma,” Atsuke yang menjawab, karena aku hanya mengabaikan pertanyaan mama, cepat masuk ke kamar lantas menutup kasar pintunya. Atsuke dan Mama pandang-pandangan tak mengerti.
            Di kamar, aku mengehempaskan diri di kasur. Melepaskan seluruh emosi. Lelah karena habis berjalan, kecewa karena tak bisa merenung di padang ilalang seperti kemauan, dan marah karena anak yang bernama Fadwa tadi. Tapi di samping itu aku juga di sergap oleh rasa penasaran. Benar-benar penasaran. Sikapnya, penampilannya… siapa dia? Pastilah dia beragama lain. Tunggu dulu, di sekolah Bu Haranuki bilang dia datang dari Arab? Aku mengerutkan alis. Aku pernah baca di buku Ensiklopedia Negara-Negara di Dunia. Di buku itu menerangkan mayoritas penduduk Arab beragama Islam. Ya, Islam! Seingatku begitu.
            Aku sama sekali tak berkata-kata. Dari yang sering kutonton di televisi, orang-orang beragama itu sering membuat terorisme di banyak negara. Tidak hanya di Suriah, bahkan di Prancis. Aku ingat, saat menonton berita itu semua keluargaku ikut menonton. Respons mereka negatif sekali. Kami sama-sama ber”ck-ck-ck” melihat berita itu. Saling berkomentar. Kejam sekali orang Islam itya. Apalagi nenek yang sangat kuat imannya. Dia berdo’a langsung kepada dewa, “Ya Dewa, lindungilah kami dari kejahatan orang-orang itu.”
            Sejak itu, seluruh anggota keluargaku membenci Islam, benar-benar menganggap Islam adalah agama yang kejam. Sungguh. Ibu juga, selalu mengingatkanku untuk berdo’a agar Islam tidak pernah masuk ke negara kami. Sungguh. Kami menganggapnya sebagai agama teroris.          
            Tiba-tiba aku tersadarkan sesuatu. Astaga. Benarkah Fadwa adalah orang Islam? Tapi, jika di lihat melalui sikapnya, penampilannya, mengatakan sesuatu—Fadwa benar-benar orang Islam. Lantas apa tujuannya berimigrasi ke Jepang?
            Kemudian aku mendapat jawabannya.
            Sudah pasti dia akan menyebarkan agamanya disini.
***